“Pak,
minggir-minggir, lewat sini. Awas jalanannya licin.” Kata seorang lelaki tua
yang memakai jas hujan plastik sedang mengatur lalu lintas malam itu. “Ya,
hati-hati pak… hati-hati.”
Malam ini hujan turun cukup deras di
daerah Puncak, Bogor, ditambah dengan angin kencang dan petir yang terus
membenturkan suaranya di atas awan-awan gelap tanpa bintang. Lelaki tua itu
sudah sejak tadi berjaga di jalan yang merupakan akses untuk pergi ke Jakarta,
menjadi sukarelawan untuk mengatur lalu lintas yang semraut karena terdapat
pohon besar tumbang menghalangi akses jalan itu. Wajahnya basah diguyur gerimis
kecil. Itu semua ia lakukan tanpa pamrih.
“Ada
apa ini, pak?” tanya laki-laki bertubuh tinggi besar dan berotot seperti
biaragawan. Namanya Indra.
Suara klakson mobil tak henti-hentinya
mengambang di udara. sebagian mobil menepi; orang-orang mencoba mengecek
keadaan atau hanya sekedar memotret kejadian itu dan memamerkannya di sosial
media masing-masing. Pohon jati yang tumbang hampir menutupi sebagian jalan,
sehingga hanya bisa di lalui oleh kendaraan bermotor. Mereka yang menggunakan
mobil, terpaksa harus menunggu sampai pohonnya bisa dievakuasi karena tak ada
akses jalan lainnya.
“Permisi pak, apa ada akses jalan
lain? Saya harus ke Jakarta malam ini juga.” Kata Indra dengan tenang.
Lelaki tinggi besar dan berotot itu
terus bertanya pada warga sekitar yang sedang menonton. Ia mendapati jawaban
yang sama; tidak ada. Meski begitu, ia tetap tenang, hanya saja wajahnya
menggambarkan seperti orang kebingungan. Tak lama kemudian, laki-laki berumur
dan bertubuh kurus, mendekat padanya. Tatkala ia hendak mendekat ke arah Indra,
warga sekitar yang melihatnya memberi salam seraya sedikit menundukan kepalanya
ke bawah. Konon katanya, lelaki kurus itu adalah jawara di kampung kampak. Ia
telah menaklukan banyak hewan buas, bahkan penjahat-penjahat kelas kakappun
tunduk padanya. Memang tak masuk akal, melihat badannya yang kurus.
“Ki
Ageng.” Katanya sembari menjulurkan tangan ke arah Indra.
“Indra.”
Jawabnya mengerutkan kening.
“Ku
dengar, kau menanyakan akses jalan lain?”
Indra
mengangguk. “Pergilah ke Arah timur, jalan terus. Kemudian, kau akan menemui
pagar-pagar yang terbuat dari kayu, pindahkan pagarnya dan kau bisa pulang ke
Jakarta.” ,”Itu pun jika kau berani, karena kau harus melewati hutan trabon. Hati-hati.”
Katanya berbisik. Sebenarnya warga sekitar pun sudah tahu tentang akses jalan
itu. Mereka sengaja tidak memberitahu kepada pendatang baru, takutnya terjadi
korban lagi. Namun, sang jawara bertubuh kurus itu dengan sengaja memberitahu
Indra tentang akses jalan itu.
Akses
jalan itu menghubungkan antara puncak ke Jakarta lebih cepat dari jalan
manapun. Dulu pengemudi beroda empat maupun dua dapat dengan tenang melewati
jalan itu. Tetapi, karena terdapat mitos-mitos yang beredar bahwa banyak
pengemudi yang tak pernah selamat ketika melewati jalan itu, maka ditutuplah
jalan tersebut oleh pihak desa.
Tanpa
pikir panjang, Indra langsung masuk ke dalam mobil, memacunya dengan kecepatan sedang.
Arah timur dan jalan terus. Indra mengikuti kata-kata Ki Ageng, akhirnya iapun
sampai di pagar-pagar yang terbuat dari kayu menghalangi jalan tersebut. Inrda
segera turun, memindahkannya ke sisi jalan.
Dengan
tenang ia menyusuri jalan itu. Jalan yang dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi
besar, semakin ia masuk ke dalam hutan, terlihat semakin gelap, sehingga
membuatnya harus terjaga menatap ke jalan dengan fokus. Setitik air satu
persatu mendarat dikaca mobil indra, gerimis kecilpun hadir lagi yang sedari
tadi sudah berhenti. Jalan ini begitu sepi, tak ada satu pun kendaraan yang
lewat, tidak terdengar suara hewan-hewan, dan bahkan tatkala angin berhembus
membuat daun pohon-pohon itu bergerak ke kanan dan kiri tidak terdengar suara sama
sekali. Sunyi dan mencekam.
Dipertengahan
jalan, mobil yang dikendarai indra mogok. Terlihat ban mobil avanzanya kempes,
Indrapun segera keluar untuk mengganti ban tersebut. Tetapi, ia tidak membawa
dongkrak. Ia tak tahu harus minta tolong kepada siapa, sinyalpun tak ada. Di
tengah kebingungannya itu, tiba-tiba seorang lelaki tua menghampirinya dengan
seekor anjing hitam. lelaki itu sekitar berumur lima puluh tahunan. Ia memakai
kaos besar dan jaket yang sudah kucel dan sedikit robek-robek. Di sebelah pipi
kirinya terdapat goresan bekas pisau.
“Kenapa,
Pak?” tanya pria tua.
“Oh,
ini, pak bannya kempes. Saya lupa gak bawa dongkrak.” Jawab Indra sedikit
terkejut dengan kehadiran pria tua itu.
“Sudah
malam. Mampir ke gubuk saya aja dulu, kebetulan di gubuk saya ada dongkrak.
Kamu bisa membetulkannya besok pagi.”
Tanpa
menaruh curiga, Indra mengikuti langkah pria tua. Gubuk milik pria tua itu
terbilang cukup jauh dengan jalan beraspal. Bangunan itu memang pantas disebut
gubuk karena bangunannya hampir roboh, temboknya dipenuhi lumut-lumut, kotor
tak terawat. Di depan gubuk terdapat dua mobil sedan yang berkarat, nampaknya
sudah tak terpakai, dan satu mobil bak yang masih bagus. Gubuk itu dikelilingi
ilalang dan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Meskipun pencahayaannya hanya
mengandalkan obor-obor dan sinar bulan saja. Tetapi, di dalam gubuk ini cukup
terang.
Di
dalam gubuk, indra terduduk di bangku kayu. Tak lama pria itu keluar dengan
nampan dan sebuah sirup.
“Kau
disini saja, saya mau pergi sebentar. Jangan pernah pergi ke belakang sana.”
Ucap pria tua Sembari menunjuk.
*
Indra
terdiam sudah cukup lama. Hingga minuman digelasnya habis pria tua itu pun
belum juga menampakkan batang hidungnya. Indra beranjak dari duduknya hendak mencari
kamar mandi. Ia berjalan pelan dari ruangan satu ke ruangan lainnya sembari
melihat-lihat isi dalam gubuk itu. Sampai ia di ruangan belakang, tercium
bau-bau amis, dan busuk seperti bangkai tikus. Tangannya mengusap meja yang
berdebu tebal hingga tampak menjadi seperti guratan panjang. Dinding-dinding
ruang belakang ini dihiasi oleh senjata tajam; kampak, golok, samurai, gergaji
besar, dan bermacam-macam pisau dari berbagai ukuran. Kemudian, matanya tertuju
pada dua benda kecil berbentuk lingkaran dan berwarna silver itu. Seketika ia
terkejut mendapati bahwa benda itu adalah cincin pernikahan milik orangtuanya.
Di
ruangan itu terdapat pintu lagi, ia memasukinya dan lagi-lagi dikejutkan oleh
apa yang sedang ia lihat. Di balik pintu itu terdapat kaki-kaki manusia yang
bergelantungan terlihat masih segar tampak baru dua bulanan. Sebagian anggota
tubuh manusia yang sudah terpotong menjadi beberapa bagian dimasukkan kedalam
lemari es. Wadah-wadah kecil berisikan darah berjejeran disamping lemari es itu.
Seketika Indra merasa mual, mengetahui bahwa yang diminumnya barusan berupa
segelas darah, dan bukan sirup. Ia pun tersadar jika orangtuanya meninggal
sepuluh tahun yang lalu karena dibunuh oleh pria tua itu. Brengsek! Katanya.
Indra mengepalkan tanggannya, wajahnya memerah tak kuasa membendung amarah yang
berapi-api.
“Sudah
ku bilang jangan pergi kebelakang.” Ujar pria tua sudah memegang kampak.
“Dasar
kau brengsek!” teriak indra.
Persaingan
sengit pun terjadi. Pria tua itu langsung menodongkan kampaknya ke tubuh Indra,
namun melenceng. Indra yang belum mempersiapkan aba-aba itu tersentak.
“Pengecut!”
kata Indra.
Pria
tua tersenyum licik. Indra mulai mempersiapkan aba-aba, kakinya melangkah ke
samping dengan menyilang mencari waktu yang tepat untuk menyerang. Kemudian
Indra melawan duluan dengan sekali hantaman kakinya. Kini, pria tua itu
tersentak. Segera Indra meraba kantong belakangnya, mencari pistolnya.”
“Pistolmu
sudah saya ambil.” Kata pria tua.
“Cuih.”
Indra meludah.
Indra
harus bertarung dengan pria tua tanpa membawa senjata tajam apapun. Dengan
putaran tubuh melayang diudara, indra berhasil membuat kampak yang dipegang
oleh pria tua itu terlempar cukup jauh. Kini, mereka bertarung dengan adil
tanpa senjata. Pria tua dengan sigap menyerang Indra habis-habisan. Pukulannya
selalu tepat mengenai tubuh Indra. Sedang Indra selalu menonjok angin.
“Aaa…”
pria tua menonjok perut Indra dengan kencang, membuatnya jatuh tersungkur ke
tanah. Bibirnya telah sobek, dan hidung Indra mengeluarkan darah. Keringat dingin
bercucuran diantara mereka.
“Kamu
tak akan bisa mengalahkanku. Hahaha.”
Indra
mengepalkan tangannya kuat-kuat. “Pengecut kau biadab!” amarahnya membangkitkan
semangatnya lagi. ia kini bergantian melawan pria tua dengan habis-habisan,
tonjokan, dan hantamannya selalu tepat sasaran. Pria tua tersungkur dengan
wajah yang lebam. Ia tampak merintih kesakitan. Kemudian, di saat ia terdiam
tak berdaya, dan Indra tak menyerangnya, tangan pria tua mencoba mengambil
pistol yang berada tak jauh didekatnya. Ia menembak secepat angin tepat di
jantung Indra. Muncratan darahpun keluar dari mulutnya. Lalu, si pria tua
kembali tersenyum licik seraya melepas pistol dari tangannya.
“Dor.”
Tembakkan kedua tepat mengenai kepala si pria tua. Saat itu juga ia mati di
tangan Ki Ageng sang jawara dari kampung kampak.
*
Indra
telah sadarkan diri setelah dua hari mengalami koma pasca operasi. ia terbaring
di atas ranjang rumah sakit, dengan ditemani Ki Ageng yang telah menolongnya
tengah terduduk di sofa.
“Tak
salah aku menyuruhmu untuk pergi kesana.” ,”Benar kata mimpiku, kau memang
mampu melawannya.” Ucapnya sembari memopong kaki kanan di atas kaki kirinya.
Komentar
Posting Komentar